Page 62 - Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku

Basic HTML Version

memegang peranan penting sebagai hakim ialah majelis jama'at,
tennasuk pendeta. Dahulu larangan terhadap kawin sekandung,
sepupu, sesusu dari segi logika tidak ada salahnya: Sesudah masuk–
nya agama maka perkawinan demikian dilarang oleh agama. Sifat–
sifat prabawa phisis maupun psikis akan turut berpengaruh dan
menentukan generasi berikutnya. Andaikata di dalam keluarga
terdapat penyakit beIjangkit, penyakit turunan,lemah otak, sakit
syarat dan
lain~ain
dengan sendirinya generasi yang diturunkan
akan membawa sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tua mereka.
Yang terkenal dengan istilah penyakit turunan dan dosa turunan.
Itulah sebabnya program pemerintah membentuk desa pemuda
Indonesia, tukar menukar guru-guru yang baru di angkat dan
ditempatkan di pulau Iowa dan
I!!in~ain
adalah sangat didukung,
dilihat dari segi kawin mawin. Demikian pula kawin pela seperli
yang terdapat di Maluku, khusus Maluku Tengah adalah sangat
dianjurkan karena: demi toleransi beragama dan untuk memupuk
sifat kegotongroyongan dan keharmonisan hidup, seperti yang
telah ditunjukkan oleh datuk-<latuk pada masa lampau.
Satu sistern perkawinan yang perlu mendapat sorotan juga
ialah sistem perkawinan yang terdapat di Serwawu Maluku Teng–
gar•.
Seperti di pulau Kei golongan masyarakat turut menentukan
pola dan sistem perkawinan, maka di Serwawu golongan masya–
rakat atau sistem kasta turu t menentukan pola perkawinan.
lelas peraturan-peraturan perkawinan disesuaikan dengan sistem
kasta.
Di
sini seperti juga di Kisar-Wonreli terdapat empat kasta.
Dari urutan yang tertinggi adalah sebagai berikut:
Kasla Mama,
Buur, Stam
dan
Budak.
Di Serwawu sekarang perkawinan ideal adalah perkawinan
eksogami. Pada waktu dahulu perkawinan eksogami dalam kasta.
Perkawinan di luar kasta adalah dosa besar. Konsekwensinya
paling berat. Sarna saja dengan di pulau-pulau Kei pada masa
lampau. Perlu dieatat adat yang berlaku di Kisar lebill ketat
daripada yang berlaku di Serwawu. Serwawu sudah tidak terikat
lagi kepada hukum adat ini. Sejak tahun 1962 mereka berangsur–
angsur sudah ke luar dari rantai adat. Dan pada tahun 1975 oleh
keputusan negeri, adat ini sudah tidak berlaku lagi, terutama
sesudah mereka mengenal sistem pola meneta sesudah perkawinan
si istri harus mengikuti suami (patrilokal).
Sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Adat adalah kasta
marna. Apa yang diatur oleh marga dipatuhi oleh golongan-go-
52
tyk
AksoH PubIiIwI
0nInt
:
Perposta!caan Nasional Repoblik Indonesia